The Floor Engineer

Sekitar pertengahan tahun 2003, saya mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi magister ke Southampton, Inggris. Inilah kota tempat kapal Titanic pertama kali mengangkat jangkarnya. Beasiswa dari pemerintah daerah tidaklah besar. Biaya untuk SPP (tuition fee) hanya diberikan dulu setengahnya (setengah lagi dijanjikan untuk diberikan kemudian) dan sisanya adalah untuk keperluan hidup; membayar sewa rumah, makan dan lain-lain. Untuk keperluan sehari-hari jumlahnya boleh dibilang di bawah standard ‘pas-pasan’. Kalau Hamdan ATT adalah orang termiskin di dunia, saya mungkin adalah mahasiswa Indonesia paling miskin di Inggris waktu itu.

Sebagian besar uang habis untuk membayar asrama. Sebenarnya menyewa rumah dengan mahasiswa-mahasiswa yang lain adalah jauh lebih murah. Tetapi karena saya takut meraba-raba di negeri orang, saya terlanjur mem’booking’ asrama sejak sebelum keberangkatan. Maka untuk mencukupi keperluan, saya pun terpaksa hidup dengan super hemat.

Setiap weekend saya belanja di Hypermarket ASDA. Kebetulan swalayan ini adalah yang paling murah karena tersedia barang-barang dengan istilah ‘smart price’. Yaitu barang dengan harga paling murah dan tentunya diikuti dengan kualitas paling rendah pula, tapi nggk jelek-jelek amat (karena itu disebut ‘smart’:). Kemasannya pun dibuat dengan sangat sederhana. Sasarannya memang ditujukan untuk konsumer-konsumer yang tidak terlalu mementingkan rasa seni, tetapi bagaimana menghemat isi dompet. Saya paksakan diri untuk tidak menghabiskan lebih dari 10 poundsterling seminggu (1 pound=Rp. 19.000 waktu itu). Untuk makan siang, saya selalu berbekal roti isi telur dan pisang, hampir setiap hari. Untuk makan malam saya suka makan kentang frozen yang dipanggang di dalam oven dan ditambah telur mata sapi. Dalam perjalanan pulang malam hari dari kampus melewati kedai Pakistan, saya akan ngintip sebentar kalau-kalau ada burger isi daging yang sedang offer ’buy one get one free’ seharga 1 poundsterling. Untungnya saya nggk terlalu rewel dengan urusan makan. Masih menganut filosofi, “Enak tak enak asal banyak”. Saya cukup kagum dengan kawan-kawan Malaysia yang hampir semua jago masak. Tetangga Malaysia di blok sebelah, mereka tinggal sama-sama dalam satu flat (sekitar 7 orang) dan memberlakukan sistem giliran memasak. Kadang-kadang kalau ketiban rezeki, saya diundang juga sekali-kali untuk ikut makan makanan khas Malaysia: nasi ayam, ayam masak merah dan lain-lain. Alhamdulillah, perbaikan gizi.

University of Southampton, Inggris.

Ketika tugas-tugas dari kampus semakin banyak, saya merasa perlu membeli komputer. Setelah mencari-cari di iklan dari website kampus, ada mahasiswa Cina yang kebetulan menjual komputernya dengan harga miring. Karena masih terjangkau dengan budget, saya akhirnya punya sebuah komputer keluaran entah tahun keberapa. Dari suaranya harddisc-nya yang parau, kelihatan sekali sang komputer tengah berjuang melawan usia. Komputernya masih memakai floppy disc, bukan USB pendrive dan juga tidak dilengkapi dengan VCD/DVD drive. Maka komputer hanya berfungsi tok untuk Microsoft Word untuk menulis laporan. Di saat semua mahasiswa lain punya PC dengan flat screen atau laptop, saya rela menghabiskan space meja belajar saya dengan monitor CRT yang gede dan beratnya naudzubillahiminzalik.

Kalau Hamdan ATT adalah orang termiskin di dunia, saya mungkin adalah mahasiswa Indonesia paling miskin di Inggris waktu itu.

Saya juga bela-belain manjangin rambut untuk menghemat biaya ke tukang pangkas. Karena tipe rambut saya ikal dan keras, rambut lebih mengembang ke atas ketimbang jatuh ke bawah. Ditambah badan yang kurus kering karena kurang gizi, jadilah penampilan saya nggk karu-karuan (lihat gambar). Entah karena prihatin atau risih ngeliat penampilan saya yang kayak pemuda tahun 70an, kawan sekelas dari US sampai komentar,”Your hair is getting long, man”.  Jelas aja komentar begitu secara implisit bermakna rambut saya bukan untuk mode, tapi lebih pada orang yang sedang dalam keadaan darurat.

Bulan berganti bulan, uang tambahan yang dijanjikan tak kunjung tiba, sementara uang tabungan semakin menipis dan waktu studi tinggal empatia bulan lagi.  Kontrak dengan asrama sudah habis dan sekarang saya menyewa satu kamar dengan seorang kawan dari Malaysia. Dia meng-klaim dirinya mahasiswa Malaysia paling miskin di UK. Jadi kami senasib sepenanggungan. Saya ingat sekali kalau kami saling meminjam uang, uang satu penny pun masuk dalam hitungan (1 pence=1/100 poundsterling). Kalau di siang hari di musim sejuk, kami rela menggigil kedinginan karena tidak menyalakan pemanas untuk penghematan biaya gas.

Penulis ketika berkunjung ke Oxford University, Inggris.

Menyewa kamar memang sangat menghemat pengeluaran, tetapi uang yang tersisa hanya pas-pasan untuk membayar sewa rumah selama empati bulan itu. Jadi tetap saja saya perlu tambahan uang untuk makan, plus saya sama sekali tidak punya simpanan untuk beli tiket pulang ke tanah air. Masalah setengah uang tuition fee yang belum terbayar tidak sanggup saya fikirkan (baca: han ek kupikè) padahal kampus sudah beberapa kali memberi peringatan. Karena kalau tidak dibayar, saya tidak akan dapat ijazah kelulusan. Akhirnya saya memutuskan untuk melamar menjadi tukang bersih-bersih alias cleaner di kampus.

Persaingan mendapat pekerjaan ternyata cukup ketat karena pekerjaan ini cukup diminati oleh terutama oleh mahasiswa internasional.  Mengharapkan pengumuman dari email sia-sia karena begitu email lowongan dikirim, pasti sudah langsung terisi. Fisrt call first serve. Akhirnya setiap hari saya bolak-balik ke kantor perekrutan tenaga kerja di kampus sampai-sampai officer perempuan disitu kenal dengan saya. Karena merasa kasihan, dia berjanji akan menelpon saya dulu begitu ada lowongan.

Alhamdulillah tidak lama kemudian saya mendapat kerja shift pagi. Saya bekerja weekdays, 5 kali seminggu, 3 jam sehari dari jam 5 sampai 8 pagi. Saya harus bangun paling tidak jam 4.30 agar tidak terlambat untuk laporan masuk atau clock-in. Dengan dingin menggigit tulang saya harus berjalan dengan langkah cepat.  Karena terlambat tiga menit saja, gaji akan dipotong dan keterlambatan tidak boleh lebih dari tiga kali. Dari situ setiap orang akan mengambil kunci dan menuju ke bangunan tempat kerja masing-masing. Tugas cleaner adalah membuang sampah, membersihkan lantai, mem-vacum karpet, membersihkan kaca dan jendela, membersihkan debu di kantor-kantor dosen atau ruang kerja mahasiswa Ph.D dan membersihkan toilet termasuk mengganti sabun dan tissue toilet. Yang terakhir ini adalah yang paling menantang (baca: menjijikkan) karena bagaimanapun joroknya kondisi toilet, hasil akhir toilet haruslah bersih mengkilat dan wangi kalau tidak ingin kena damprat sama supervisor cleaner.   

Motivasi kerja cleaner bermacam-macam. Sebagian besar orang ingin mencari uang tambahan dan pengalaman dan sangat sedikit (mungkin hampir nggak ada) yang bertujuan untuk menutup defisit keuangan untuk keperluan hidup seperti saya. Sementara saya bekerja untuk mengganjal perut, seorang kawan dari Malaysia yang sedang ngambil S1 malah bekerja cleaner karena pengen beli BMW. Sungguh menggiriskan perbedaan takdir yang kami miliki. Mobil-mobil mewah second hand di Inggris memang sangat murah. Jadi cukup terjangkau kalau gaji cleaner 100% ditabung. Kerja cleaner ini juga banyak diisi oleh orang yang ikut suami atau istrinya melanjutkan pendidikan doktoral. Karena daripada menganggur, lebih baik menambah tabungan. Kami memberi nama profesi ini dengan istilah keren: The Floor Engineer.

Read this article on Medium.

advanced divider

Maybe You Like